suroboyo.id – Selama hampir satu bulan terakhir, konflik berkecamuk antara Israel dan Gaza telah menjadi perhatian utama. Konflik ini tidak hanya melibatkan kelompok Hamas, tetapi juga berbagai kelompok proksi yang terkait dengan Iran.
Pada Rabu, milisi Houthi di Yaman melaporkan telah melakukan serangan terhadap Israel. Kemudian, pada Kamis, Hizbullah melaporkan menembaki 19 lokasi di perbatasan Lebanon dengan Israel.
Selain itu, Amerika Serikat (AS) telah mengerahkan aset militer ke wilayah tersebut untuk mendukung Israel, dan mereka melancarkan serangan udara terhadap sasaran yang terkait dengan Korps Garda Revolusi Iran di Suriah. Ini telah meningkatkan kekhawatiran akan eskalasi konflik di Timur Tengah.
Hal ini juga membuat para pengamat pasar khawatir tentang Selat Hormuz, yang merupakan salah satu jalur transit minyak terpenting di dunia.
Menurut Badan Informasi Energi (EIA), Selat Hormuz yang terletak antara Oman dan Iran adalah saluran penting di mana sekitar seperlima dari produksi minyak global mengalir setiap harinya.
“Perairan itu adalah jalur penting yang strategis. Menghubungkan produsen minyak mentah di Timur Tengah dengan pasar-pasar utama di seluruh dunia,” Dikutip CNBC International, Jumat (3/11/2023).
Kekhawatiran paling utama adalah pembalasan Israel terhadap Iran, yang menjadi sumber dana dan senjata proksi-proksi. Menurut prediksi Bank of America baru-baru ini, Iran bisa saja menutup selat tersebut, sehingga mendorong harga minyak hingga di atas U$250 per barel.
Apakah Bisa Iran Menutup Selat Hormuz?
Sebenarnya, Minggu, Presiden Iran Ebrahim Raisi mengatakan di platform media sosial X bahwa Israel telah “melewati garis merah”. Ini mungkin, tegasnya, “memaksa semua orang untuk mengambil tindakan”.
Tak diketahui belas apa tindakan yang dimaksud. Namun yang pasti, proksi-proksi Iran sudah mulai bergerak menyerang Israel.
Tapi sebenarnya Iran memang pernah mengancam menutup Hormuz. Pada tahun 2019, negeri itu berulang kali mengancam akan mengganggu pengiriman minyak melalui area itu setelah mantan Presiden AS Donald Trump menarik diri dari perjanjian nuklir penting tahun 2015 dan menghidupkan kembali sanksi terhadap Teheran.
“Dalam dua tahun terakhir saja, Iran telah menyerang atau mengganggu 15 kapal dagang berbendera internasional,” menurut data dari Angkatan Laut AS.
Tidak Mungkin Terjadi?
Namun, beberapa pengamat industri mengatakan penutupan tidak mungkin terjadi. Apalagi, Iran dan negara Arab menggantungkan diri ke wilayah itu untuk menyalurkan minyak, sumber pendapatannya.
“Kemungkinan gangguan pasokan, terutama penutupan Selat Hormuz, kecil kemungkinannya,” kata Presiden Lipow Oil Associates, Andy Lipow.
“Produsen minyak seperti Arab Saudi, Iran, Irak dan Kuwait masih bergantung pada pendapatan yang berasal dari akses ke selat tersebut,” tambahnya.
Goldman Sachs juga mengutarakan yang sama. Analis yang dipimpin oleh kepala penelitian minyak Daan Struyven mengatakan dalam catatannya pada tanggal 26 Oktober bahwa “skenario penurunan pasokan yang parah” bisa terjadi sebagai akibat dari gangguan perdagangan melalui Selat Hormuz kemungkinan besar tidak akan terwujud.
“Kemungkinan rendah penutupan Selat Hormuz,” kata konsultan itu.
Harga Minyak Meroket dan Kesalahan Proksi
Senin, Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan harga minyak bisa melonjak hingga US$157 per barel jika konflik yang sedang berlangsung terus meningkat.
Bank Dunia memperingatkan akan terulangnya embargo minyak Arab pada tahun 1973, ketika para menteri energi Arab memberlakukan boikot ekspor minyak terhadap AS sebagai pembalasan atas dukungannya terhadap Israel dalam perang Arab-Israel tahun 1973.
“Dalam skenario seperti itu, mungkin ada skenario gangguan besar yang pada awalnya akan mendorong harga naik sebesar 56% hingga 75% – menjadi antara US$140 dan US$157 per barel,” kata laporan itu.
Namun sekali lagi, Presiden Lipow Oil Associates, Andy Lipow menegaskan itu sepertinya tak akan terjadi. Menurutnya jaman sudah berubah.
“Sekarang waktunya sedikit berbeda dengan 50 tahun yang lalu karena kita melihat negara-negara Arab sangat membutuh uang,” tegasnya.
Tapi, Lipow menyebut sepertinya Iran memang “menyerahkan” perang ke proksi-proksinya. Perkiraan yang salah bisa menimbulkan kekhawatiran.
“Satu ketakutan saya adalah mungkin satu dari proksi membuat kesalahan ketika menyerang Israel,” katanya.
“Analis tersebut mengatakan bahwa Israel kemungkinan besar akan membalas dengan menyerang Iran yang akan memburuk dengan cepat menjadi konflik regional,” tambahnya.