suroboyo.id – Pada Rabu, tanggal 6 September 2023, mantan kepala Mossad, badan intelijen Israel, mengungkapkan pernyataan kontroversial bahwa Israel saat ini sedang menerapkan sistem apartheid di Tepi Barat.
Tamir Pardo, seorang pejabat senior yang memiliki pengalaman luas di pemerintahan Israel, secara tegas menyatakan bahwa perlakuan Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat dapat dibandingkan dengan sistem apartheid yang sebelumnya diterapkan di Afrika Selatan dan berakhir pada tahun 1994.
Sejumlah kelompok hak asasi manusia terkemuka, baik di dalam maupun di luar Israel, bersama-sama dengan aktivis Palestina, telah lama mengkritik Israel dan pendudukannya di Tepi Barat selama lebih dari lima dekade terakhir.
Mereka mengklaim bahwa pendudukan ini telah berubah menjadi sistem apartheid yang, menurut pandangan mereka, memberikan status yang lebih rendah kepada warga Palestina. Mereka percaya bahwa sistem ini didesain untuk mempertahankan dominasi Yahudi dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania.
Pernyataan yang sangat terbuka seperti ini oleh Tamir Pardo menjadi sorotan karena dia adalah salah satu dari sejumlah mantan pemimpin, diplomat, dan pejabat keamanan Israel yang telah memperingatkan tentang risiko negara ini berubah menjadi negara apartheid.
“Ada negara apartheid di sini,” kata Tamir Pardo, seperti dilansir AP, Jumat (8/9). “Di wilayah di mana dua orang diadili berdasarkan dua sistem hukum, itu adalah negara apartheid.”
Mengingat latar belakang Pardo, komentar tersebut mempunyai pengaruh khusus bagi Israel yang terobsesi dengan keamanan.
Pardo, yang ditunjuk oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan menjabat sebagai kepala agen mata-mata rahasia Israel dari tahun 2011-2016, tidak mau mengatakan apakah dia memiliki keyakinan yang sama saat memimpin Mossad.
Namun, dia menuturkan bahwa dia yakin salah satu masalah yang paling mendesak di negaranya adalah masalah Palestina – selain program nuklir Iran, yang dipandang oleh Netanyahu sebagai ancaman nyata.
Pardo mengungkapkan, sebagai pemimpin Mossad, dia berulang kali memperingatkan Netanyahu bahwa dia perlu memutuskan perbatasan Israel atau mengambil risiko kehancuran negara bagi orang-orang Yahudi.
Tahun lalu, Pardo telah menjadi kritikus vokal terhadap Netanyahu dan upaya pemerintahnya untuk merombak sistem peradilan. Dia mengecam mantan bosnya atas tindakan yang menurutnya akan membawa Israel menjadi negara diktator.
Evaluasi jujurnya pada Rabu mengenai pendudukan militer Israel jarang terjadi di antara para pemimpin gerakan protes akar rumput yang menentang perombakan peradilan, yang sebagian besar menghindari pembicaraan mengenai pendudukan karena kekhawatiran bahwa hal itu akan menakuti lebih banyak pendukung nasionalis.
Partai Likud pimpinan Benjamin Netanyahu mengeluarkan pernyataan yang mengecam komentar Pardo.
“Bukannya membela Israel dan militer Israel, Pardo malah memfitnah Israel,” sebut Partai Likud. “Pardo. Kamu seharusnya malu.”
Apartheid di Afrika Selatan, sistem yang didasarkan pada supremasi kulit putih dan segregasi rasial berlaku dari tahun 1948 hingga 1994.
Sementara itu, kelompok-kelompok hak asasi manusia mendasarkan kesimpulan mereka terhadap Israel berdasarkan konvensi internasional seperti Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional. Undang-undang tersebut mendefinisikan apartheid sebagai sebuah rezim yang terlembaga yang melakukan penindasan dan dominasi sistematis oleh satu kelompok ras terhadap kelompok ras lainnya.
Pardo menyinggung soal warga Israel bisa naik mobil dan mengemudi kemanapun mereka mau, kecuali Jalur Gaza yang diblokade. Namun, warga Palestina tidak bisa mengemudi kemana-mana. Dia menekankan bahwa pandangannya soal apartheid di Tepi Barat tidaklah ekstrem.
“Itu fakta,” kata dia.
Israel telah menolak tuduhan apartheid dan mengatakan warga negara Arab-nya mempunyai hak yang sama.