suroboyo.id – Eko Agus Prawoto, yang juga seorang insinyur dan seniman terkemuka, meninggal dunia pada hari Rabu, 13 September 2023, pada usia 65 tahun. Ia dikenal sebagai seorang arsitek mahir dalam menciptakan desain berbasis ekologi, atau yang dikenal dengan istilah “eco design.”
Kabar kepergian Eko Prawoto disampaikan melalui akun resmi Yayasan Arkom Indonesia di platform Instagram. Yayasan Arkom Indonesia dengan tulus menyampaikan rasa duka yang mendalam atas kepergian Eko, yang juga merupakan salah satu pembina dalam organisasi Arkom Indonesia.
Dalam unggahan tersebut, Yayasan Arkom Indonesia menulis, “Telah berpulang kehadirat-Nya dengan damai, Ir. Eko Agus Prawoto, MARCH, yang juga merupakan salah satu Pembina Arkom Indonesia. Selamat jalan Bapak kami, panutan kami. Warisan karyamu dan semangatmu akan terus menginspirasi kami sepanjang masa. Doa kami selalu menyertaimu” , Rabu (13/9).
Eko Prawoto adalah seniman dan arsitektur yang dihormati di Indonesia. Berkat karya-karyanya yang masyhur dan berpengaruh, namanya bahkan dikenal harum di kancah arsitektur global.
Lahir di Purworejo, Jawa Tengah pada Agustus 1958, Eko Prawoto tumbuh menjadi orang yang menyukai seni dan arsitektur. Setelah tamat SMA, Eko melanjutkan studi di jurusan arsitektur di Universitas Gadjah Mada.
Eko mendapatkan gelar Sarjana Arsitektur pada 1982. Tetap konsisten dengan ilmu arsitekturnya, pria berkacamata ini lalu melanjutkan studi S2 untuk bidang ilmu yang sama, arsitektur, di Berlage Institute Amsterdam. Dia mendapatkan gelar Magister pada 1993.
Sejak 1985, Eko menjadi dosen di Fakultas Arsitektur dan Desain di Universitas Kristen Duta Wacana. Ia aktif menjadi seorang dosen sembari terus mengerjakan hal-hal yang disukainya, termasuk seni. Pada tahun 2000, dirinya lalu mulai mendirikan studio desain bertajuk Eko Prawoto Architecture Workshop.
Mengutip dari Yayasan Arkom Indonesia, Eko adalah insinyur yang berpandangan bahwa arsitektur adalah sebuah perjalanan. Dia terus mencari keseimbangan baru di dunia yang terus berubah dan arsitektur adalah sarana untuk menjaga semangat kebersamaan masyarakat. Terutama terkait menciptakan sebuah kehidupan yang selaras dengan alam.
Dalam bekerja, arsitek kebanggaan Yogyakarta ini selalu berusaha meningkatkan nilai lokalitas yang unik dan menjadi ciri khasnya. Nilai-nilai tersebut kemudian diejawantahkan menjadi strategi desain untuk mengintegrasikan arsitektur dalam konteks sosial, budaya, dan lingkungan.
Seniman ini kerap menonjolkan lokalitas Nusantara yang memihak kemanusiaan dan hunian hijau. Pesan itu dapat dilihat dari pemilihan bahan-bahan bangunan dari daerah atau lokal yang selalu menselaraskan dengan alam sekitar.
Semasa hidupnya, Eko Prawoto banyak mengerjakan proyek skala kecil, seperti galeri seni, rumah pribadi, hingga fasilitas masyarakat. Namun, selain itu dirinya juga aktif melakukan instalasi seni atau proyek seni komunitas.
Karya-karyanya pernah dipamerkan di beberapa ajang bergengsi, dari Venice Biennale 2000, Arte All-arte, Gwangju Biennale, Echigo Tsumari Art Triennial, Kamikatsu Art Festival, Anyang people Art Project di Korea, Common Ground Australia, Singapore Bienalle 2013, Holbaek Denmark 2016, Sonsbeek 2016, Common Ground Australia, hingga Regionale XII di Austria.
Karya-karya dari Eko juga sempat dipamerkan di I Light Singapore – Bicentennial Edition pada awal 2019 lalu. Dalam festival yang menampilkan lebih 20 program dan 33 karya seni instalasi itu, Eko menghadirkan karya berjudul Time Traveller yang cukup unik.
Material yang dipakainya juga kembali berhubungan dengan alam. Kali ini, dia banyak memainkan bahan bambu dalam mencipta karyanya. Salah satu karya fenomenal lain ialah Cemeti Art House di Yogyakarta yang kemudian diganjar penghargaan dari IAI sebagai bangunan kebudayaan pada 2004.
Kini, Eko Prawoto telah berpulang. Namun, ide besarnya dan karya-karya berpengaruh yang pernah diciptakannya akan selalu abadi dan dikenang oleh generasi setelahnya.