Berita  

Agus Rahardjo Menceritakan Pengalamannya Ditegur oleh Jokowi terkait Kasus e-KTP

suroboyo.id – Agus Rahardjo, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019, mengungkapkan bahwa ia pernah diminta oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan penanganan kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) yang melibatkan Setya Novanto atau Setnov.

Saat itu, Setnov menjabat sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, partai politik yang pada 2016 menjadi bagian dari koalisi pendukung Jokowi. Status hukum Setnov sebagai tersangka diumumkan oleh KPK secara resmi pada Jumat, 10 November 2017.

Agus membagikan pengalamannya ini, mengungkap bahwa momen tersebut terjadi ketika Jokowi memanggilnya secara pribadi. Agus merasa heran karena biasanya presiden memanggil seluruh pimpinan KPK, namun kali ini ia dipanggil sendirian.

“Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno [Menteri Sekretariat Negara]. Jadi, saya heran ‘biasanya manggil [pimpinan KPK] berlima ini kok sendirian’. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan tapi lewat masjid kecil,” ujar Agus dalam program Rosi yang dikutip dari YouTube Kompas TV pada Jumat (1/12).

Saat bertemu, Agus mengaku melihat Jokowi sudah dalam keadaan marah. Ia mengungkap Jokowi lalu meneriakkan kata ‘hentikan’.

“Itu di sana begitu saya masuk, presiden sudah marah, menginginkan, karena begitu saya masuk beliau sudah teriak ‘hentikan’. Kan saya heran yang dihentikan apanya. Setelah saya duduk saya baru tahu, kalau yang suruh dihentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov, Ketua DPR waktu itu mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan,” ujarnya dalam acara tersebut.

Namun, Agus tidak menuruti perintah Jokowi dengan alasan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) sudah ditandatangani pimpinan KPK tiga pekan sebelum pertemuan tersebut.

“Saya bicara (ke Presiden) apa adanya saja bahwa Sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu, di KPK itu enggak ada SP3 [Surat Perintah Penghentian Penyidikan], enggak mungkin saya memberhentikan itu,” katanya.

Agus mengaku telah menceritakan kejadian dimaksud kepada koleganya di KPK.

“Saya bersaksi, itu memang terjadi yang sesungguhnya. Saya alami sendiri. Saya awalnya tidak cerita pada komisioner yang lain tapi setelah beberapa lama itu kemudian saya cerita,” ucap dia.

Ia merasa kejadian tersebut berimbas pada diubahnya Undang-undang KPK. Dalam revisi UU KPK, terdapat sejumlah ketentuan penting yang diubah.

Di antaranya KPK kini di bawah kekuasaan eksekutif dan bisa menerbitkan SP3.

“Kemudian karena tugas di KPK seperti itu ya makanya saya jalan terus. Tapi, akhirnya dilakukan revisi undang-undang yang intinya ada SP3, kemudian di bawah presiden, mungkin waktu itu presiden merasa ini Ketua KPK diperintah presiden kok enggak mau, apa mungkin begitu,” katanya.

Kesaksian Para Kolega

Salah satu kolega Agus yang merupakan Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang mengaku pernah mendapat cerita tersebut dari Agus. Namun, ia mengaku lupa detailnya.

“Sudah lama kan, dia [Agus Rahardjo] habis ketemu itu beberapa saat dia cerita. Yang ingat aku di lantai 15 [ruang kerja pimpinan KPK] sih. Tapi, aku lupa berapa lama setelah dia ngomong gitu,” kata Saut saat dikonfirmasi lewat sambungan telepon, Jumat (1/12).

“Cuma seingat saya waktu kita ingin menyerahkan mandat, Pak Agus bilang,” imbuh dia.

Pada Jumat, 13 September 2019, tiga pimpinan KPK saat itu yaitu Agus Rahardjo, Saut Situmorang, dan Laode M Syarif menyerahkan tanggung jawab atau mandat pengelolaan Lembaga Antirasuah ke Presiden Jokowi.

Hal itu berkaitan dengan revisi UU KPK yang justru melemahkan kinerja pemberantasan korupsi. Pimpinan dan pegawai KPK menyatakan keberatan terhadap revisi dimaksud. Namun, pelbagai protes mereka tidak didengar hingga akhirnya perubahan kedua UU KPK disahkan.

“Waktu mau turun ke bawah sambil jalan berdua ‘iya saya dimarahin Presiden’,” ucap Saut menirukan percakapan Agus.

Cerita Agus itu juga dibenarkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Alex yang kembali terpilih jadi Wakil Ketua KPK saat ini mengatakan Agus pernah menceritakan kejadian itu ke pimpinan lembaga antirasuah kala itu.

“Ya, Pak Agus pernah bercerita kejadian itu ke pimpinan,” ujar Alex saat dikonfirmasi melalui pesan tertulis, Jumat.

Alex menyebut permintaan Jokowi tersebut ditolak karena Sprindik sudah diteken pimpinan KPK.

“Ditolak karena Sprindik sudah terbit dan KPK tidak bisa menghentikan penyidikan. KPK juga sudah mengumumkan tersangka,” kata Alex.

Sementara itu, mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan juga mengaku sempat mendengar kabar rencana Agus Rahardjo untuk mundur dari jabatannya di KPK saat itu, karena ada dugaan intervensi dalam kasus korupsi e-KTP.

Menurutnya, rencana mundur dari jabatan Ketua KPK itu hendak dilakukan Agus usai diduga diminta Jokowi untuk berhenti mengusut perkara yang menjerat Setya Novanto.

“Iya saya emang pernah dengar cerita itu, saya saat itu ada di Singapura, sedang berobat. Dan, seingat saya malah Pak Agus mau mengundurkan diri itu,” ujarnya kepada wartawan di markas Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat.

“Jadi untuk bertahan dalam komitmen perkara SN (Setya Novanto) tetap dijalankan, itu Pak Agus pernah mau mengundurkan diri,” imbuhnya.

Cerita Agus Dibantah Istana Hingga Komisi III DPR

Sementara itu, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengaku telah mengecek pertemuan dimaksud, namun tidak ada dalam agenda presiden.

“Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda Presiden,” kata Ari melalui keterangan tertulis.

Ia enggan menjawab ihwal Jokowi meminta kasus e-KTP dihentikan. Ia meminta publik untuk melihat fakta di mana Setnov tetap diproses hukum.

“Kita lihat saja apa kenyataannya yang terjadi. Kenyataannya, proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan pada tahun 2017 dan sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap,” ujar Ari.

“Presiden dalam pernyataan resmi tanggal 17 November 2017 dengan tegas meminta agar Setya Novanto mengikuti proses hukum di KPK yang telah menetapkannya menjadi tersangka korupsi kasus KTP elektronik. Presiden juga yakin proses hukum terus berjalan dengan baik,” imbuhnya.

Ari juga mengomentari perihal pembahasan revisi UU KPK yang disinggung Agus. Ia menjelaskan inisiator revisi tersebut justru DPR, bukan Pemerintah.

“Perlu diperjelas bahwa Revisi UU KPK pada tahun 2019 itu inisiatif DPR, bukan inisiatif Pemerintah, dan terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto,” kata Ari.

Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni membantah pernyataan yang menyebut ada campur tangan Istana dan Presiden Joko Widodo di balik revisi UU KPK pada 2019 silam.

Menurut Sahroni, revisi UU KPK merupakan inisiatif DPR sejak awal. Hasilnya, sembilan atau semua fraksi di Komisi III DPR juga menyetujui revisi tersebut.

“Revisi UU KPK kan dari DPR langsung dan disepakati oleh sembilan fraksi di dalamnya, jadi nggak ada hubungannya dengan Presiden,” ucap Sahroni, Jumat (1/12).