Berita  

Pembelaan Karen Agustiawan, Mantan Direktur Utama Pertamina, Setelah Ditahan oleh KPK

suroboyo.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi telah menahan Karen Agustiawan, yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT Pertamina (Persero) selama periode 2009-2014, terkait kasus pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) di PT Pertamina pada tahun 2011-2021.

Karen Agustiawan dihadapi ancaman hukuman lebih dari 5 tahun penjara dengan kerugian negara mencapai Rp 2,1 Triliun.

Setelah menjalani pemeriksaan dan ditahan mulai tanggal 19 September hingga 8 Oktober 2023 di Rumah Tahanan Negara KPK, Karen Agustiawan memberikan klarifikasi terkait perkaranya.

Dia mengungkapkan bahwa selama pemeriksaan, dia menjawab sekitar 20 lebih pertanyaan dalam dokumen berisi 13 halaman.

“Perbuatan korporatif ini saya lakukan berdasarkan perintah jabatan saya, yang merujuk pada Perpres 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, di mana diatur bahwa gas harus mencapai 30 persen.

Selain itu, saya juga mengacu pada Inpres 1 tahun 2010 dan Inpres 14 tahun 2014,” ujarnya pada hari Selasa, 19 September 2023.

Karen menegaskan pengadaan LNG di Pertamina bukan aksi dirinya sendiri, tapi merupakan aksi korporasi Pertamina berdasarkan Inpres dan Surat Unit Kerja Presiden 4 sebagai pemenuhan proyek strategis nasional.

“Kalau tadi dibilang rugi, maka saya sampaikan perjanjian di 2013 dan 2014 sudah dianulir dengan perjanjian 2015. Di perjanjian 2015, disampaikan di ayat 24,2 bahwa perjanjian 2013 dan 2014 sudah tak berlaku lagi,” ujar Karen.

Diketahui Karen memberikan kuasa kepada Hari Karyulianto dalam penandatangan dua dokumen kontrak pembelian LNG selama dua puluh tahun dari Corpus Christi, di antaranya pada 4 Desember 2013 dan 1 Juli 2014. Kemudian ada penekenan perjanjian serupa dengan Mozambique LNG1 pada 8 Agustus 2014.

“Kalau ada kerugian besar itu diakibatkan karena masa pandemi di 2020 dan 2021, katanya harga semuanya menurun. Tapi sebetulnya, ada pandemi atau tidak, Pertamina seharusnya untung. Karena berdasarkan dokumen yang ada, Oktober 2018 itu Pertamina bisa menjual ke BIPI dan ke Trafigura dengan nilai positif 71 cent per million British thermal unit (MBTU),” kata Karen.

Menurut dia, jika volume LNG dikelola dengan piawai dengan cara mengetahui kapan harus dijual, mengetahui tren ke depan, dan harus dibuat statistiknya serta memahami geopolitik, maka tak ada kendala.

“Kenapa itu tidak dilaksanakan, saya tak tahu. Tapi per tahun ini dari mulai first delivery 2009 sampai 2025 itu sudah untung Rp 1,6 triliun,” kata Karen.

Menurut Karen, semua perjanjian maupun harga itu transparan. Karen menegaskan, apa yang sudah dilakukannya sudah sebaik mungkin dan Pertamina tidak perlu rugi kalau memang menjalankan tender yang hasilnya di Oktober 2018.

“Saya tak tahu kenapa Pertamina pada Oktober 2018 yang hasilnya sudah bagus, tapi tak dijalankan. Saya tak tahu siapa yang bertanggungjawab dan menjabat di 2018. Saya sudah resign di tahun itu,” kata dia.

Sekali lagi Karen menegaskan, apa yang dilakukannya itu berdasarkan Instruksi Presiden, sehingga harus dilaksanakan. “Jadi pemerintah tahu. Saya sudah melaksanakan perintah sebagai pelaksanaan anggaran dasar,” ujarnya.

“Ada 3 konsultan yang terlibat, dan sudah melakukan pendalaman, disetujui oleh seluruh direksi secara sah secara kolektif kolegial karena ingin melanjutkan apa yang tertuang di proyek strategis nasional pada 2013,” sambung Karen.

Dia tak ingin berkomentar mengenai dirinya merasa dikorbankan pihak yang mana.

Diketahui, pemerintah sempat berusaha mengantisipasi penurunan cadangan gas konvensional dari 152.9 trillion square cubic feet (TSCF) menjadi 142.72 TSCF, dengan upaya meningkatkan eksplorasi demi cadangan baru. Pertamina pun menandatangani head of agreement (HoA) dengan Anadarko pada 2018.

Sementara kontrak Pertamina dengan Corpus Christi yakni untuk membeli 0,76 juta ton per tahun gas alam cair pada Desember 2013 dan berlaku selama 20 tahun dari 2019 hingga 2039.

Dua kontrak pembelian gas alam cair itu menjadi temuan dalam audit internal Pertamina dan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).

Sengkarut yang pada akhirnya tertuju pada Karen ini sudah diproses sejak Maret 2021 oleh Kejaksaan Agung selama 6 bulan, kemudian diambil alih KPK.

Ketua KPK, Firli Bahuri, meminta menangani kasus ini setelah Kejaksaan Agung menaikkan kasus LNG ke penyidikan.

Setelah melewati proses tarik ulur antar KPK dan Kejaksaan Agung, Karen ditahan KPK sebab perbuatannya dinilai bertentangan dengan ketentuan Akta Pernyataan Keputusan RUPS pada 1 Agustus 2012 tentang Anggaran Dasar PT Pertamina Persero.

“Kemudian Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBILI/2008 tanggal 3 September 2008. Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tanggal 1 Agustus 2011. Permeneg BUMN Nomor PER-03/MBU/08/2017 tentang Pedoman Kerjasama BUMN,” jelas Firli.

KPK mengatakan Karen Agustiawan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.