suroboyo.id – Upaya penanganan kemacetan di Surabaya terus dilakukan, dan salah satu langkah yang diambil adalah menerapkan uji coba transportation demand management (TDM) untuk mengatasi mobilitas masyarakat yang semakin meningkat.
Namun, hingga tanggal 23 September lalu, peralihan masyarakat ke transportasi umum masih menjadi tantangan. Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan integrasi dan cakupan layanan transportasi umum.
Untuk menjaga kelancaran lalu lintas di jalan-jalan utama Surabaya, Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, telah mencari opsi lain.
Ia mengamati bahwa volume kendaraan terus meningkat, sementara kapasitas jalan tetap terbatas. Oleh karena itu, dibutuhkan mekanisme yang efektif untuk mengatur lalu lintas, terutama saat kendaraan berhenti di persimpangan.
Salah satu langkah yang diambil adalah mengukur waktu lampu merah. Semakin lama lampu merah berhenti, semakin besar polusi yang dihasilkan.
Oleh karena itu, pihak berwenang telah mengatur agar waktu berhenti lampu merah tidak terlalu lama. Langkah ini dianggap efektif, terutama karena kemacetan di Surabaya cenderung bersifat temporer, terjadi hanya pada waktu-waktu tertentu.
Eri Cahyadi menjelaskan, “Saat antrean kendaraan mencapai beberapa meter, lampu akan secara otomatis berubah menjadi hijau. Saat ini, kami memiliki Surabaya Intelligent Transport System (SITS), tetapi otomatisasinya masih dalam pengembangan.”
Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Surabaya Tundjung Iswandaru menyatakan, sekarang perangkat itu sedang diuji coba. Tepatnya di kawasan Jalan Darmo. Sejauh ini sistem tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan kota. Penerapan sistem itu akan dikombinasi dengan SITS.
’’Perangkat tersebut otomatis akan mempelajari bagaimana lalu lintas di persimpangan Surabaya. Sehingga bisa menentukan seperti apa pengaturan yang cocok,’’ paparnya.
Menurut dia, penerapan sistem deteksi kemacetan memiliki plus-minus. Jika satu titik jalur berwarna hijau lama, akan muncul antrean panjang di titik lain.
Nah, penyatuan sistem SITS dengan perangkat anyar itu akan dikombinasikan. Tujuannya, ada formula yang pas untuk mengatasi kemacetan di semua titik persimpangan.
Sejauh ini uji coba perangkat sensor tambahan itu bekerja dengan baik. Namun untuk tahap awal, penerapan bakal diprioritaskan di jalur sepanjang bundaran Waru hingga Tanjung Perak. ”Di rute sejauh 25 kilometer itu ada 12 titik persimpangan lampu merah,” ucapnya.
Selain rekayasa dengan perangkat pendeteksi kemacetan, sistem yang masih diuji coba adalah bus priority. Tundjung menyebut sistem itu untuk memberikan sinyal hijau otomatis di persimpangan ketika bus hendak melintas.
Sistem tersebut diperuntukkan bagi transportasi trunk, seperti Suroboyo Bus dan Trans Semanggi Suroboyo. ’’Kami ingin selain jalan lancar, masyarakat bisa beralih ke transportasi publik,’’ paparnya.
Tundjung mengatakan, hingga kini Surabaya juga masih menerapkan kebijakan time shifting. Yakni, mengatur jam aktivitas masyarakat. ’’Untuk sekolah masuknya pukul 07.00. ASN pukul 07.30 dan karyawan swasta pukul 08.00 atau 08.30,’’ lanjutnya.
PROBLEM lalin yang merambat juga mendapat sorotan dari DPRD Surabaya. Dewan meminta ada kontrol arus kendaraan yang masuk Surabaya. Sehingga mobilitas warga bisa ditata.
Anggota Komisi C DPRD Surabaya William Wirakusuma mengatakan, mayoritas pergerakan di jalan raya tidak berasal dari warga Surabaya saja. Tapi juga dari daerah sekitarnya. Seperti Sidoarjo dan Gresik.
Menurut William, warga yang datang harus diberi pilihan memadai untuk masuk ke dalam kota. Tak sekadar menyediakan kendaraan yang nyaman.
Tapi juga tempat transit yang bisa dijangkau. ”Seperti membuat titik-titik parkir. Dari luar kota bisa parkir di titik itu, lalu pindah ke kendaraan umum,” paparnya.
Ketersediaan armada yang memadai juga harus dipenuhi. Dengan anggaran yang ada sekarang, William menilai proporsinya masih terlalu kecil.
Per tahun hanya Rp 60 miliar untuk transportasi. ”Itu baru 0,5 persen dari APBD Surabaya. Idealnya 2 sampai 3 persen, itu cukup,” tuturnya.
Melihat kenyataan lalu lintas di jalan-jalan protokol yang merayap, opsi menambah armada transportasi umum paling masuk akal.
Sebab, penambahan lebar jalan juga tidak memungkinkan. ”Kalau dilebarkan, akan semakin membuat masyarakat tertarik menggunakan kendaraan pribadi,” ujarnya.