Dinamika Budaya Streaming: Antara Fenomena “Netflix and Chill” dan Dominasi Konten Global Jepang

Frasa “Netflix and chill” kini bukan lagi sekadar susunan kata asing di telinga kaum muda, baik dalam interaksi dunia maya maupun pergaulan sosial sehari-hari. Istilah yang kerap wara-wiri di lini masa Twitter dan Instagram ini telah berevolusi menjadi kode sosial tersendiri. Bagi mereka yang belum familier, ungkapan ini sejatinya merupakan eufemisme atau penghalusan bahasa untuk mengajak berkencan di rumah dengan dalih menonton tayangan Netflix, yang sering kali berujung pada aktivitas fisik atau hubungan intim. Ini adalah potret nyata bagaimana teknologi streaming telah merasuki aspek kehidupan romantis modern.

Evolusi Makna dan Ambiguitas Komunikasi

Menariknya, frasa ini tidak serta-merta lahir dengan konotasi seksual. Jika menilik sejarahnya, istilah ini mulai merebak di Twitter sekitar tahun 2009 dengan makna harfiah: bersantai sambil menonton film. Namun, seiring dengan maraknya penggunaan aplikasi kencan dan media sosial sebagai wadah pertemuan pasangan muda, makna frasa ini bergeser drastis. Ia berubah menjadi “jurusan maut” atau pick-up line untuk mengajak gebetan berkencan. Puncaknya pada tahun 2015, Urban Dictionary mendefinisikan istilah ini sebagai aktivitas pergi ke rumah pasangan dengan dalih menonton, namun bereskalasi menjadi interaksi seksual.

Meskipun demikian, penggunaan istilah ini kerap memicu kebingungan. Tidak semua orang menggunakannya sebagai kode seksual; ada kalanya frasa ini murni ajakan platonis untuk menikmati konten terbaru bersama teman. Di sinilah letak permasalahannya. Terapis seks asal Chicago, Michelle Herzog, menyoroti risiko penggunaan bahasa kode semacam ini dalam sebuah hubungan. Menurutnya, penggunaan eufemisme justru menciptakan ruang abu-abu yang berbahaya karena mengasumsikan bahwa seseorang tidak perlu berterus terang mengenai niat atau harapan seksualnya. Budaya kencan yang toksik seolah mengajarkan bahwa bersikap tidak langsung adalah langkah yang lebih aman. Padahal, Herzog menegaskan bahwa tidak seharusnya seseorang merasa tertekan untuk berhubungan intim hanya karena undangan menonton film.

Pentingnya Transparansi dalam Hubungan Modern

Alih-alih bersembunyi di balik istilah yang ambigu, para ahli menyarankan komunikasi yang lugas dan transparan. Kejujuran mengenai intensi—misalnya dengan menanyakan secara langsung ketertarikan pasangan untuk mengeksplorasi hubungan secara seksual—mungkin terdengar menakutkan atau canggung. Namun, pendekatan tanpa basa-basi ini justru meminimalisasi risiko kesalahpahaman dan memastikan adanya konsensual yang jelas. Dengan batasan yang tegas dan komunikasi terbuka, pasangan dapat benar-benar menikmati waktu bersama, entah itu untuk keintiman atau benar-benar fokus menikmati tayangan berkualitas yang sedang disajikan di layar kaca.

Kebangkitan Sinema Jepang di Kancah Global

Berbicara mengenai fokus pada tayangan berkualitas, Netflix baru saja mengumumkan kabar gembira yang memaksa penonton untuk benar-benar terpaku pada layar, bukan sekadar menjadikannya latar belakang kencan. Serial hits asal Jepang, Last Samurai Standing, secara resmi telah mendapatkan lampu hijau untuk berlanjut ke musim kedua. Serial yang mengisahkan perjalanan Kokushu sang Pembantai, atau Shujiro Saga (diperankan oleh Junichi Okada), dalam permainan maut bernama “Kodoku” ini akan kembali menyapa penggemar globalnya dengan babak baru yang lebih epik.

Kepastian ini disampaikan langsung oleh penulis sekaligus sutradara Michihito Fujii, yang mengaku merinding membayangkan hari-hari produksi yang akan datang bersama tim luar biasa yang dipimpin oleh Junichi Okada. Fujii menjanjikan bahwa musim kedua ini akan hadir dengan skala yang lebih besar dan kualitas yang lebih baik dibandingkan pendahulunya. Senada dengan sang sutradara, Okada—yang juga bertindak sebagai produser dan koreografer aksi—menyatakan kesiapannya untuk kembali terjun ke dunia liar Last Samurai Standing dan menyuguhkan musim yang lebih energik serta padat aksi.

Prestasi dan Kelanjutan Pertarungan Shujiro

Serial yang diadaptasi dari novel fiksi sejarah Ikusagami karya Shogo Imamura ini terbukti sukses besar dalam misinya menciptakan drama periode gaya baru yang dapat dinikmati dunia. Pasca debutnya, Last Samurai Standing tidak hanya merajai peringkat teratas Netflix Jepang selama empat minggu berturut-turut, tetapi juga menduduki posisi puncak Netflix Weekly Global Top 10 untuk kategori serial non-bahasa Inggris, serta masuk dalam daftar 10 besar di 88 negara. Prestasi ini semakin lengkap dengan ukiran sejarah baru sebagai produksi Jepang pertama yang dinominasikan dalam kategori Serial Bahasa Asing Terbaik di ajang bergengsi Critics’ Choice Awards.

Pada penutup musim pertama, kompetisi “Kodoku” masih berkecamuk dan menyisakan para pejuang terkuat. Narasi musim kedua akan menyoroti langkah Shujiro yang bergegas ke Tokyo setelah menerima panggilan misterius. Ia tidak sendiri, melainkan bersama Futaba Katsuki, seorang gadis yang juga terjebak dalam permainan bertahan hidup tersebut. Misi mereka tidak hanya untuk melanjutkan pertarungan battle royale ini, tetapi juga membongkar dalang di baliknya. Sementara itu, saudara-saudara angkat Shujiro bersiap untuk bersatu kembali demi menghadapi Gentosai, samurai yang dahulu melatih mereka namun kini justru memburu nyawa mereka. Para penggemar kini dapat bersiap menantikan kelanjutan saga penuh aksi para samurai yang tersisa ini.